PKS Pertanyakan Efektivitas Proyek Kereta Cepat Whoosh Usai Catat Rugi Triliunan
PKS Desak Evaluasi Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Tekor Rp1,9 Triliun dalam Setahun
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyoroti kondisi keuangan proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh yang dinilai membebani neraca PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI.
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi per Juni 2025, KAI menanggung rugi Rp951,48 miliar dari kepemilikan saham mayoritasnya di PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), konsorsium yang mengelola Whoosh. KAI sendiri menggenggam 58,53 persen saham PSBI.
“Jika ditotal dengan semester II 2024, kerugian yang ditanggung KAI dari proyek Whoosh mencapai Rp1,9 triliun hanya dalam setahun. Bahkan sepanjang tahun kalender 2024, akumulasi kerugiannya menembus Rp2,69 triliun,” ujar Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Handi Risza, Sabtu (23/8/2025).
Beban Berat Sejak Beroperasi
Handi mengungkapkan, KAI telah menanggung kerugian sejak Whoosh resmi beroperasi komersial pada Oktober 2023. Ia menilai, tingginya biaya investasi dan operasional masih belum tertutupi oleh pendapatan dari penjualan tiket.
Total investasi proyek ini mencapai 7,2 miliar dolar AS atau setara Rp116,54 triliun (asumsi kurs Rp16.186 per dolar AS). Angka tersebut sudah termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dolar AS atau Rp19,42 triliun.
“Dengan skema pembiayaan sebesar itu, beban keuangan yang ditanggung KAI jelas sangat berat,” imbuh Handi.
Usulan PKS: Integrasi dan Diversifikasi Pendapatan
PKS mendorong pemerintah mengambil langkah konkret agar proyek kereta cepat tidak sekadar menjadi simbol, tetapi benar-benar memberikan nilai ekonomi berkelanjutan. Menurut Handi, salah satu solusinya adalah memperkuat konektivitas dengan moda transportasi lain.
“Optimalisasi jaringan transportasi antarmoda harus dipercepat, terutama akses menuju stasiun kereta cepat. Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong sumber penerimaan non-tiket, seperti pengembangan kawasan berbasis transit (transit oriented development) atau layanan komersial yang bisa mendukung pendapatan,” jelasnya.
Handi juga mengingatkan, peningkatan jumlah penumpang tidak otomatis mengurangi kerugian, karena akan diikuti dengan frekuensi operasi yang lebih tinggi serta biaya perawatan yang semakin besar.
“Oleh karena itu, keseimbangan antara biaya operasional dan penerimaan harus dijaga secara disiplin,” tandasnya.